Selasa, 27 Desember 2011

MASALAH SEL(ES)AI




Waktu itu tahun 1933. Aku baru saja diberhentikan dari pekerjaan paruh-waktuku, sehingga tidak bisa lagi ikut memberikan sumbangan bagi nafkah keluarga. Satu-satunya pemasukan kami adalah yang dapat diperoleh Ibu dengan menjahit pakaian orang. Kemudian Ibu jatuh sakit selama beberapa minggu sehingga tidak mampu bekerja. Aliran listrik rumah diputuskan oleh perusahaan listrik karena kami tidak membayar rekening. Lalu perusahaan gas memberhentikan aliran gas. Selanjutnya perusahaan air minum. Tetapi Dinas Kesehatan menyuruh perusahaan itu mengalirkan air lagi atas pertimbangan kesehatan. Lemari makan kami hampir tidak pernah ada isinya lagi. Kami mempunyai kebun sayuran dan dapat memasak sebagian dari hasilnya dengan menggunakan api unggun di pekarangan belakang.

Lalu pada suatu hari adik perempuanku datang sambil meloncat-loncat, pulang dari sekolah. Ia berkata, “Besok kami disuruh membawa sesuatu ke sekolah untuk diberikan kepada orang miskin.”

Ibu langsung mengatakan, “Ibu tidak tahu siapa yang masih lebih miskin daripada kita,” ketika Nenek, yang waktu itu tinggal bersama kami, memegang tangannya sambil mengerutkan kening, untuk menyuruh Ibu diam.

“Eva,” kata Nenek, “jika kau membuat anakmu merasa bahwa ia ‘orang miskin’ pada umur semuda itu, maka ia akan menjadi ‘orang miskin’ seumur hidup. Di dalam lemari makan masih ada botol selai buatan kita sendiri. Itu bisa dibawanya ke sekolah besok.”

Nenek menemukan selembar kertas tisu dan sepotong pita biru. Dengan bahan-bahan itu dibungkusnya botol selai dan keesokan harinya adikku pergi dengan bangga ke sekolah, membawa ‘hadiah untuk orang miskin’. Setelah itu, bila ada masalah di lingkungannya, ia menganggap bahwa sudah sewajarnya ia mengambil bagian dalam penyelesaiannya (Edgar Bledsoe – A Cup of Chicken Soup for the Soul)

Tidak ada komentar: