Selasa, 18 Oktober 2011

PUZZLE


[1] Puzzle I

Malam ini aku meneleponmu. Aku kehilangan kekasihku. Hatiku patah untuk sekali lagi.

Dalam sekejap kau datang padaku, membawa potongan-potongan puzzle itu."Bantu aku menyusun puzzle ini," pintamu. Dan aku mengangguk setuju.

Kita mulai menyusun potongan-potongan puzzle itu. Aku terus duduk disampingmu, setia membantu. Memang sedikit membutuhkan waktu, namun ada rasa bahagia ketika puzzle itu akhirnya berhasil kita susun hingga utuh.

"Sedang iseng ya?" tanyaku ingin tahu. Tapi kau hanya tersenyum menatapku. Sahabat yang kutahu kan selalu ada di saat aku jatuh kini menatapku dalam bisu.

"Mengapa kau mengajak orang yang sedang patah hati bermain puzzle? Kau tidak ingin menghiburku?" tanyaku tak mengerti.

"Tentu saja aku ingin. Aku benci melihatmu menangis. Aku benci melihatmu terluka.”

“Lalu?”

“Tidakkah kau lihat? Potongan-potongan puzzle itu tadinya berantakan, sama seperti hatimu. Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada, untuk menjadikannya utuh seperti semula. Seperti sekarang, aku ingin kamu tahu bahwa kau tak pernah sendirian," ucapmu yang membuatku tersenyum simpul.

“Apakah aku pernah memberitahumu, Ben? Kau adalah sahabat terbaik yang aku punya…”ujarku lantas memeluknya.

"Dan apakah aku juga pernah memberitahumu, La? Aku mencintaimu. Selalu."


***


[2] Puzzle II


Ia menatapku seperti aku ini makhluk luar angkasa yang terdampar ke bumi. Ia pejamkan matanya, lalu membukanya. Terus ia lakukan itu berkali-kali. Membuatku yakin sebentar lagi aku akan patah hati.

"Cinta?" Ia mengucapkan itu setelah terdiam semenit, tapi bagiku bagai setahun lamanya.

Mungkin ini memang bukan saat yang tepat untuk menyatakan cinta. Namun kalimat itu meluncur begitu saja saat kutatap matanya. Aku ingin ia tahu bahwa aku ada untuk menjaga dan mencintainya - aku ingin hadirku menjadi nyata.

"Sudah berapa lama?" tanyanya saat aku tak jua menjawabnya. Sudah berapa lama katanya? Entahlah. Perasaan ini hadir tanpa kutahu. Seperti pencuri yang masuk ke rumah tanpa menyapa. Hanya saja aku rela.

"Ben?"

"Iya, La?"

"Kenapa diam saja? Jawab aku. Sejak kapan?"

"Apakah itu begitu penting?" tanyaku yang membuatnya ikut-ikutan membisu. Aku tahu ia sebenarnya tak benar-benar ingin tahu. Ia hanya ingin diyakini, bahwa ia tak sedang bermimpi.

"Jadi, maukah kau memberiku kesempatan untuk menyatukan hatimu kembali?" tanyaku penuh harap. Ah, Tuhan. Bagaimana jika ia mengatakan tidak?

"Kau bahkan sudah melakukannya berkali-kali Ben."

"Tapi kau tahu kali ini berbeda, La..." kataku yang membuatnya kembali membisu.

Aku tidak tahu apa yang tengah ia pikirkan dan ia rasa. 7 tahun bersahabat dengannya bahkan tak mampu membuatku bisa mengartikan tatapannya kali ini. Ia terlihat berbeda.

"Jujur saja aku sangat terkejut mendengar ini semua..." katanya, dan aku tahu sekaranglah saatnya.

"Tapi entah kenapa, Ben... Aku merasa bahagia."

Senyum mengembang di bibirku tanpa dapat kucegah. Tuhan, jangan bilang bahwa aku salah menerka. Aku tahu dia sedang mengatakan YA (Irin Sintriana).


Tidak ada komentar: